Saturday, December 31, 2022

Mengurai Benang Kusut Resistensi Antibiotik

Mengurai Benang Kusut Resistensi Antimikroba

Oleh : Amrizal Muchtar

Dosen Mikrobiologi FK UMI


Pada tahun 2019, diperkirakan 1,2 juta orang meninggal di seluruh dunia akibat kasus resistensi antimikroba. Karena pentingnya kesadaran akan ancaman ini di masa depan, maka WHO mengkampanyekan pekan ini, setiap tanggal 18-24 November, sebagai Pekan Kesadaran Antimikroba Dunia. Tahun ini, temanya adalah “Mencegah Resistensi Antimikroba secara Bersama-sama.”

 Menurut WHO, resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan sifat menjadi tidak lagi sensitif terhadap antimikroba sehingga membuat infeksi menjadi sulit ditangani dan akhirnya meningkatkan resiko penyebaran penyakit, kegawatan dan kematian. Penanganan resistensi ini memang bukan hal sederhana karena terpengaruh oleh beberapa pihak yaitu masyarakat, tenaga kesehatan, pemerintah, industri kesehatan, dan sektor agrikultural. Karena itu tanpa kekompakan nasional, resistensi antimikroba tidak akan bisa ditangani.

--oo--

Sebelum ditemukan antibiotik, jutaan orang meninggal akibat penyakit infeksi seperti pneumonia. Pada era perang dunia 1, Flemming, orang Skotlandia, adalah salah satu orang yang melakukan wajib militer. Di sana dia mengamati begitu banyak orang yang meninggal bukan karena luka perang, tapi karena infeksi pada luka tersebut. Dia kemudian memutuskan melakukan riset terhadap bakteri penyebab infeksi untuk menemukan obatnya.

Pada awal September 1928, dia lupa menutup cawan petri yang berisi bakteri Staphylococcus di laboratoriumnya pada saat dia pergi liburan. Tak disangka saat dia kembali dari liburan, tumbuh jamur di cawan tersebut. Dia mengamati ada satu bagian cawan yang ditumbuhi jamur yang tidak bisa ditumbuhi bakteri. Setelah diteliti lebih lanjut, dia menemukan kalau jamur tersebut ternyata adalah Penicillium notatum yang bisa menghasilkan antibiotik penisilin yang mematikan kuman. Inilah awal dari penemuan antibiotik pertama di dunia. Butuh 10 tahun untuk bisa mengumpulkan penisilin dalam jumlah besar. Menjelang perang dunia kedua, penisilin berhasil diproduksi secara besar-besaran sehingga bisa menyelamatkan ribuan nyawa. 

Ketika resistensi antimikroba total nanti terjadi, maka zaman akan kembali seperti masa di atas ketika antibiotik belum ditemukan. Ada antibiotik tapi tidak ada yang bisa membunuh kuman karena semuanya sudah kebal. Di situlah pastinya kepanikan global akan melanda karena jutaan korban akan jatuh akibat penyakit-penyakit seperti pneumonia yang saat ini masih bisa diobati.

Inilah yang ingin dicegah oleh WHO, jangan sampai terjadi dengan cepat. Resistensi antimikroba memang mau tidak mau pasti akan terjadi suatu saat mengingat tingginya tingkat mutasi yang terjadi pada bakteri, virus, jamur, dan parasit. Tapi kebiasaan masyarakat menggunakan antibiotik secara tidak rasional semakin mempercepat hal itu sedangkan penemuan obat antimikroba baru sangat lambat. 

–oo–

Kekompakan nasional yang meliputi masyarakat, sarana kesehatan, pemerintah, industri kesehatan, dan agrikultural harus bisa terjadi efektif.f untuk bisa memperlambat laju resistensi. Ini adalah tugas pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mengkoordinasi kerjasama ini.

Pemerintah harus membuat strategi jangka panjang untuk memperlambat angka kejadian resistensi antimikroba. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memperbaiki pelaporan kasus resistensi obat di fasilitas kesehatan.

Saat ini semua rumah sakit sudah sering menguji resistensi obat terhadap kuman tertentu, tapi itu hanya untuk kepentingan institusi yang bersangkutan sendiri padahal keberadaan kuman bersifat global. Kuman yang resisten di Papua akan dengan mudah menjangkiti pasien di Jakarta dengan mudahnya mobilitas. Seperti halnya kasus Covid 19 yang awalnya hanya di China tapi bisa segera mendunia. Jadi sudah selayaknya laporan resistensi obat di suatu tempat bisa dikelola dalam suatu pelaporan daring dimana semua orang bisa mengaksesnya.

Tenaga kesehatan mencakup dokter dan apotek adalah dua pihak yang sangat sering tidak kompak di Indonesia terkait ini. Apoteker sering menjual obat antibiotik secara bebas tanpa ada resep dokter padahal sudah ada aturan PP no. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian pasal 24c yang melarang penjualan obat keras termasuk antibiotik tanpa resep dokter. Sebaliknya apotek juga sering komplain, kenapa dokter bisa memberikan obat antibiotik tanpa melalu apotek. Ini kembali lagi kepada penegakan tegas hukum yang ada. Saat ini pengawasan peredaran narkotika sudah lebih bisa diatur ketimbang antibiotik. Padahal kedua jenis obat tersebut diatur dalam aturan yang sama.

Industri kesehatan juga memegang peranan penting karena penemuan obat antibiotika baru sangat mendesak. Diperlukan investasi besar-besaran untuk meriset obat baru sehingga jangan kalah cepat dari laju resistensi obat. Sektor agrikultural juga tidak kalah penting, karena antimikroba juga dipakai di hewan dan tumbuhan, sehingga pengawasannya juga harus bersamaan. (AMR)





No comments:

Menghapal tanpa tahu artinya tak termasuk mempelajari Alquran

Menghafal Tanpa Tahu Artinya, Tak Termasuk Mempelajari Al-Qur’an!  ibtimes.id/menghafal-tanpa-tahu-artinya-tak-termasuk-mempelajari-al-quran...